Ibadah menurut Imam Al Ghazali dibagi
menjadi tiga jenis bagian,
pertama
ibadah bersifat rasional (ma’qul) seperti ketentuan pencuri harus dihukum,
orang berhutang harus mengembalikan. Kedua
ibadah bersifat irasional (ghairu ma’qul) atau hanya murni bentuk manifestasi
pengabdian seorang hamba kepada sang pencipta, contoh melempar jumrah (7 batu)
saat beribadah haji dan orang kentut membatalkan wudlu seseorang, konsep
initidak masuk pada logika nalar namun dilakukan semata sebagai bentuk
kepatuhan pada perintah Tuhan. Ketiga ibadah
akumulatif seperti zakat.
Logika dalam zakat adalah berbagi antara
si kaya dengan si miskin, tapi menjadi tidak logis jika ada ketentuan bila
seseorang memelihara 40 ekor kambing (1 nishab) dalam setahun (haul) harus
mengeluarkan zakat berupa seekor kambing, sedangkan 30 ekor sapi zakatnya
adalah anak sapi berumur 1-2 tahun, 5 ekor unta zakatnya 1 ekor kambing, 25
ekor unta zakatnya 1 ekor bintu makhadl betina (unta genap 1 tahun sampai 2 tahun).
Karena kambing nishabnya 40 ekor? Jika sapi 30 ekor? Dan unta hanya sampai 5
ekor sudah wajib zakat dan jika sudah menginjak hitungan 25 zakatnya bukan lagi
kambing secara berkelipatan, namun pindah menjadi unta? Disinilah letak ketidak
nalaran-nya.
Karena
ada campuran unsur ta’abbud (pengabdian hamba) itulah Imam Syafi’i berpendapat
bahwa zakat fithrah sebesar satu sha’(setara dengan 4 mud) mutlak harus
dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok setempat tanpa bisa diganti dengan uang
yang senilai atau bahkan lebih. Pendapat ini diikuti oleh semua ulama
pengikutnya tanpa terkecuali. Berbeda dengan Imam Hanafi yang memandang bukan
sisi ta’abuddiyahnya yang menonjol, namun kebutuhan si faqir-lah yang
diutamakan.
Sebenarnya,
sho’ dan mud merupakan satuan ukuran atau volume, bukan takaran sebagaimana
yang diasumsikan banyak masyarakat. Satu mud versi Syafi’i, Hambali dan Maliki
adalah 0,766 liter atau kubus berukuran sekitar 9,2cm sedangkan satu sho’ versi
Syafi’i, Hambali dan Maliki 3,145 liter setara dengan kubus seukuran 14,65 cm.
Apabila dikonversikan pada hasil berat, karena
setiap beras mempunyai kadar air yang masing-masing berbeda maka hasilnyapun
juga tidak sama, kemungkinan inilah yang menjadikanperbedaan pendapat ulama
Indonesia tentang berapa berat zakat fithrah jika dijadikan dalam bentuk satuan
(kg) sehingga terjadi perbedaan pendapat mulai antara 2,5kg sampai 2,8kg. Bagi
kita bebas mengikuti pendapat antara ukuran tersebut, namun jika inginmengikuti
langkah paling ihtiyath (hati-hati)
kitra dapat mengambil 2,8 kg atau hasil penelitian yang cukup tinggi.
Banyak
lembaga yayasan atau Badan Kemakmuran Masjid (BKM) yang siap membantu
penyaluran zakat fithrah supaya dapat menyalurkan kepada mustahiq (golongan
penerima) secara merata, namun sebagian dari mereka banyak yang kurang paham
betul tentang seluk-beluk zakat fithrah. Diabtara masalah yang banyak terjadi
adalah zakat fithrah dengan uang.
Untuk
kalangan Syafi’iyah, yakni penganut mayoriyah muslim Indonesia tidak
diperbolehkan memberikan zakat berupa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar