1. AL-WADI’AH
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tsb dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
Landasan Syari’ah:
a. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya...” (QS. An-Nisaa: 58).
b. Abu Hurairah meriwayatkan bhw Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim).
c. Ijma para ulama terhadap legitimasi al-wadi’ah krn kebutuhan manusia thd hal itu sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatiha.
Akad-akad pembayaran dalam sistem perbankan syariah berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing):
1. AL-MUSYARAKAH
Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
• Landasan Syariah:
a “...maka mereka berserikat pada sepertiga...” (QS. An-Nisa: 12)
b Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
c Ijma para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
2. AL-MUDHARABAH
Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
• Landasan Syariah:
a. “...dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT...” (QS. Al-Muzammil: 20).
b. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
c. Ijma para Sahabat sebagaimana dikutip oleh Imam Zaila’i, beliau menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.
3. AL-MUZARA’AH
Al-Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) hasil panen. Al-Muzara’ah seringkali diidentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah: benih dari penggarap.
• Landasan Syariah:
a Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
b Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jbir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3 , 1/4:3/4 , 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya”
c Ijma. Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu ja’far: “Tidak ada satu rumahpun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdil Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”.
4. AL-MUSAQAH
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
• Landasan Syariah:
a Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
b Ijma. Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atasdasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma sukuti dari umat.
Akad-akad pembayaran dalam sistem perbankan syariah berdasarkan Prinsip Jual Beli ( Sale amd Purchase):
1. Bai’ Al Murabahah
Bai’ Al Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus terlebih dahulu memberitahukan harga pokok yang ia beli dengan ditambah keuntungan yang diinginkan.
Landasan Syariat:
a Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Qs. Al Baqarah:275)
b Dari Sohaib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: Jual Beli secara tangguh, Muqaradhah (Mudharabah) dan mencampur gandumkan dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”(HR.Ibnu Majah).
2. Bai’As salam
Bai’As salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah dengan mengetahui jenis terlebih dahulu, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Landasan Syariat:
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk yang ditentukan maka tuliskanlah “.(Q. S. Al-Baqarah : 282)
3. Bai’Al-Istishna
Antonio (2000: 159) menyatakan Bai'al Istishna' adalah :merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuatan barang. Dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli, pembeli barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran di muka, cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa pembayaran di muka. Cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Sedangkan Institut Bankir Indonesia (IBI) menyatakan Istinsha' adalah: “Pembiayaan jual beli yang dilakukan antara Bank dan nasabah dimana penjual (pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah bank untuk memenuhi pesanan, nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain”.
Dari pengertian di atas terlihat bahwa bank sebagai pembuat kontrak antara nasabah (pembeli) dengan produsen pembuat barang yang dipesan, jadi bank tetap satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajiban.
Istishna' dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan konstruksi dimana bank menerima pesanan dari pemilik proyek untuk membayar suatu bangunan dan menyerahkan kepada kontraktor untuk membangunnya.
Akad-akad pembayaran dalam sistem perbankan syariah berdasarkan Prinsip Sewa (Operation Lease and financial Lease):
1. Al-Ijarah
Antonio (2000 : 167) mengatakan bahwa Al-Ijarah adalah: “Akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri”.
Sedangkan Sumitro (1996: 38) Al-Ijarah adalah : “Perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak setelah masa sewa berakhir, maka akan dikembalikan kepada pemilik”.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Ijarah adalah perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan persetujuan dan dikembalikan setelah masa berakhir.
Landasan syari'ahnya :
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran menurut yang patut, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahulah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan“. (Q.S. Al -Bayarah : 233)
Kontrak Ijarah ini adalah terdiri dari penggunaan atau manfaat dari sebuah
aset tertentu atau penggunaan sebuah asset yang spesifikasinya diterima berdasarkan penjelasan pemberi sewa, tapi dalam Ijarah ini asetnya rusak maka Ijarah menjadi batal.
2. Al-Ijarah Al-Muntahia Bit Tamlik
Antonio (2000: 168) Al-Ijarah Al-Muntahia adalah: “Sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangani si penyewa”.
Dari pengertian di atas terlihat jelas perbedaannya dengan Al-Ijarah biasa, dimana Al-Ijarah Al-Muntahia kepemilikan barang ditangan penyewa sedangkan Al-Ijarah kepemilikan barang ditangan si pemilik.
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk Ijarah dapt melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Namun pada umumnya bank-bank lebih banyak menggunakan Al-Ijarah A1-Muttahia karena sederhana dari sisi pembukuannya, selain itu juga bank tidak repot mengurus pemeliharaan asset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
Manfaat dari transaksi Al-Ijarah ini untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok.
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tsb dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
Landasan Syari’ah:
a. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya...” (QS. An-Nisaa: 58).
b. Abu Hurairah meriwayatkan bhw Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim).
c. Ijma para ulama terhadap legitimasi al-wadi’ah krn kebutuhan manusia thd hal itu sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatiha.
Akad-akad pembayaran dalam sistem perbankan syariah berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing):
1. AL-MUSYARAKAH
Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
• Landasan Syariah:
a “...maka mereka berserikat pada sepertiga...” (QS. An-Nisa: 12)
b Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
c Ijma para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
2. AL-MUDHARABAH
Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
• Landasan Syariah:
a. “...dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT...” (QS. Al-Muzammil: 20).
b. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
c. Ijma para Sahabat sebagaimana dikutip oleh Imam Zaila’i, beliau menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.
3. AL-MUZARA’AH
Al-Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) hasil panen. Al-Muzara’ah seringkali diidentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah: benih dari penggarap.
• Landasan Syariah:
a Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
b Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jbir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3 , 1/4:3/4 , 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya”
c Ijma. Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu ja’far: “Tidak ada satu rumahpun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdil Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”.
4. AL-MUSAQAH
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
• Landasan Syariah:
a Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
b Ijma. Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atasdasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma sukuti dari umat.
Akad-akad pembayaran dalam sistem perbankan syariah berdasarkan Prinsip Jual Beli ( Sale amd Purchase):
1. Bai’ Al Murabahah
Bai’ Al Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus terlebih dahulu memberitahukan harga pokok yang ia beli dengan ditambah keuntungan yang diinginkan.
Landasan Syariat:
a Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Qs. Al Baqarah:275)
b Dari Sohaib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: Jual Beli secara tangguh, Muqaradhah (Mudharabah) dan mencampur gandumkan dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”(HR.Ibnu Majah).
2. Bai’As salam
Bai’As salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah dengan mengetahui jenis terlebih dahulu, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Landasan Syariat:
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk yang ditentukan maka tuliskanlah “.(Q. S. Al-Baqarah : 282)
3. Bai’Al-Istishna
Antonio (2000: 159) menyatakan Bai'al Istishna' adalah :merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuatan barang. Dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli, pembeli barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran di muka, cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa pembayaran di muka. Cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Sedangkan Institut Bankir Indonesia (IBI) menyatakan Istinsha' adalah: “Pembiayaan jual beli yang dilakukan antara Bank dan nasabah dimana penjual (pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah bank untuk memenuhi pesanan, nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain”.
Dari pengertian di atas terlihat bahwa bank sebagai pembuat kontrak antara nasabah (pembeli) dengan produsen pembuat barang yang dipesan, jadi bank tetap satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajiban.
Istishna' dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan konstruksi dimana bank menerima pesanan dari pemilik proyek untuk membayar suatu bangunan dan menyerahkan kepada kontraktor untuk membangunnya.
Akad-akad pembayaran dalam sistem perbankan syariah berdasarkan Prinsip Sewa (Operation Lease and financial Lease):
1. Al-Ijarah
Antonio (2000 : 167) mengatakan bahwa Al-Ijarah adalah: “Akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri”.
Sedangkan Sumitro (1996: 38) Al-Ijarah adalah : “Perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak setelah masa sewa berakhir, maka akan dikembalikan kepada pemilik”.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Ijarah adalah perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan persetujuan dan dikembalikan setelah masa berakhir.
Landasan syari'ahnya :
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran menurut yang patut, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahulah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan“. (Q.S. Al -Bayarah : 233)
Kontrak Ijarah ini adalah terdiri dari penggunaan atau manfaat dari sebuah
aset tertentu atau penggunaan sebuah asset yang spesifikasinya diterima berdasarkan penjelasan pemberi sewa, tapi dalam Ijarah ini asetnya rusak maka Ijarah menjadi batal.
2. Al-Ijarah Al-Muntahia Bit Tamlik
Antonio (2000: 168) Al-Ijarah Al-Muntahia adalah: “Sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangani si penyewa”.
Dari pengertian di atas terlihat jelas perbedaannya dengan Al-Ijarah biasa, dimana Al-Ijarah Al-Muntahia kepemilikan barang ditangan penyewa sedangkan Al-Ijarah kepemilikan barang ditangan si pemilik.
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk Ijarah dapt melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Namun pada umumnya bank-bank lebih banyak menggunakan Al-Ijarah A1-Muttahia karena sederhana dari sisi pembukuannya, selain itu juga bank tidak repot mengurus pemeliharaan asset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
Manfaat dari transaksi Al-Ijarah ini untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok.