Rabu, 23 Oktober 2013

HUKUM SHALAT BERMAKMUM KEPADA ORANG YANG MEMBACA AYAT AL-QUR'AN TANPA MEMAKAI TAJWID


Oleh,
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya: perlu Anda ketahui sesungguhnya saya adalah Imam masjid disalah satu sudut daerah Riyadh. Yang menjadi masalah adalah sesungguhnya saya lemah dalam tajwid tatkala membaca dan banyak salah. Saya hafal 3 juz dan bebearapa ayat di surat-surat yang terpencar, sedangkan saya sangat khawatir atas tanggung jawab yang saya pikul. Mohon saran, apakah saya terus menjadi imam ataukah harus mengundurkan diri??
Jawaban:
Anda harus berusaha menghafal ayat-ayat yang mudah dan memperbaiki bacaannya dan saya beri Anda kabar gembira berupa kebaikan dan pertolongan dari Allah Azza wa Jalla  jika niatmu baik dan Anda mengarahkan seluruh kemampuan untuk itu, karena Allah SWT berfirman:
“Artinya barangsiapa yang bertakwa kepad Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” (QS. Ath-Thalaq:2)
Dan sabda Nabi SAW:
“Artinya: orang yang mahir Al-Qur’an dia bersama para malaikat yang mulia lagi baik, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an sambil terbata-bata dan mengalami kesulitan maka dia mendapatkan dua pahala”
Kami tidak menyarankan Anda untuk mengundurkan diri, namunkami mewasiatkan agar Anda terus bersungguh-sungguh, sabar, tabah sampai Anda berhasil dalam membaca kitab Allah dengan tajwid dan dalam menghafal seluruhnya atau ayat-ayat yang mudah.

[fatwa Ibnu Baz –kitab Ad-Da’wah- (Al-fatwa 1/56)]
[disalin dari buku fatwa 70 fatwa fii ikhtiramil Qur’an, edisi indonesia 70 fatwa tentang Al-Qur’an, penyusun Abu Anas Ali bin husain Abu Luz, hal. 37-38 Darul haq]

HUKUM SHALAT BERJAMA'AH DIKALA HUJAN


oleh,
Syaikh Ali bin Hasanbin Ali Al-Halaby Al-Atsary

Pertanyaan..
Pada musim hujan pada sekarang ini saya kadang tidak shalat berjama’ah di masjid karena hujan tersebut, meskipun sebetulnya saya meyakinin bahwa shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki wajib dan saya merasa berdosa setiap kali tidak datang ke masjid karena hujan.bagaimana menurut redaksi majalah Adz-Dzakirah??
Jawaban:
Ya, memang betul bahwa hukum asal sholat berjama’ah di masjid bagi laki-laki itu hukumnya wajib dan keutamaannya shalat berjama’ah itu sangat banyak sekali. Akan tetapi di kala ada udzur atau alasan syar’i (seperti hujan) dibolehkan untuk tidak berjama’ah di masjid. Untuk lebih jelasnya simaklah ucapan Syaikh Ali bin Hasanbin Ali Al-Halaby Al-Atsary tentang hukum shalat berjama’ah dikala hujan.
1.      Dari Ibnu Abbas r.a
Bahwasannya dia pernah berkata kepada muadzinnya ketika hujan turun: “apabila engkau telah melafadzkan Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah maka jangan mengatakan: Hayya ‘Alash sholah, akan tetapi katakanlah “Shollu fii Buyutikum” (lalu manusia mendengarkannya seolah-olah) mengingkarin masalah tersebut. Ibnu Abbas lalu berkata: ”Hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah SAW). Sesungguhnya shalat jum’at itu adalah kewajiban dan aku tidak ingin menyuruh kalian keluar ke masjid lalu kalian berjalan di atas tanah yang becek dan licin.” (HR. Bukhari).
2.      Dari Nafi’, dia berkata:
“pernah suatu malam Ibnu Umar r.a mengumandangkan adzan di Dhojnan (nama sebuah gunung dekat Mekah, -pent) lalu beliau berkata: Shallu Fii Rihaalikum” kemudian beliau menceritakan bahwa Rasulullah pernah menyuruh mu’adzinnya mengumandangkan adzan pada waktu malam yang dingin atau hujan dalam safar (perjalanan), dan pada akhir adzannya muadzin itu menngucapkan:’Alaa Shollu fii Rihaal” (HR. Bukhari).
3.      Dari Usamah bin Umair r.a, dia berkata:
“Dahulu kami bersama Rasulullah pada waktu Hudaibiyah danhujan pun menimpa kami tidak sampai membasahi sandal-sandal kami. Lalu mu’adzin Rasulullah menngumandangkan: Shallu fii Rihaalikum” (HR. Ahmad dan Abu Daud).


4.      Dari Ibnu Umar r.a
Bahwa dia pernah menemui malam yang dingin sekali maka ada diantara mereka yang memberi tahu (tentang bolehnya shalat di rumah di kala hujan), maka merekapun shalat di rumah-rumah merka. Ibnu Umar mengatakan: Sesungguhnya aku melihat Rasulullah menyuruhpara sahabat untuk shalat di rumah mereka di kalakeadaannya seperti ini.” (HR. Ibnu Hibban)
5.      Dari Jabir r.a, berkata:
“dahulu kami bersama rasulullah dalam perjalanan lalu hujanpun mneimpa kami maka rasulullah bersabda: Siapa yang mau maka silahkan shalat di rumahnya atau tempatnya” (HR. Muslim)
Ibnu Hibban meriwayatkan pula hadis tersebut dalam shahihnya dan memberi judul babnya: “penjelasan bahwa perintah untuk sholat di rumah (tidak berjama’ah) bagi yang memiliki udzur di atas adalah suatu yang mubah atau dibolehkan dan bukan wajib”
Di dalam hadis-hadis tersebut di atas ada beberapa pelajaran penting, diantaranya:
Ø  Boleh meninggalkan sholat berjama’ah di masjid karena alasan (yang disyari’atkan). Hal ini dikatakan oleh Al-Iraqi dalam (Tarhut Tatsrib). Lalu dia berkata: “Ibnu Bathta berkata: para ulama telah sepakat bahwa meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) pada waktu hujanderas, angin kencang dan yang semisalnya dibolehkan”
Imam Qurthubi mengatakan dalam (Al-Mufhim 3/1218) setelah menyebutkan beberapa hadis-hadis di atas: “Dahir hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya meninggalkan sholat berjama’ah karena hujan, angin kencang dan dingin serta semisalnya dari hal-hal yang memberatkan baik di kala perjalanan atautidak”
Ø  Seorang muadzin ketika ada hal-hal di atas (hujan dll) mengganti lafadz Hayya ‘Alash sholah dengan Shollu Fii Rihaalikum atau Buyuutikum. Tapi ada riwayat-riwayat lain yang juga shahih menjelaskan bolehnya menambahkan Sholli fii Buyuutikum setelah hayya ‘Alal Falah atau setelah adzan selesai. Semuanya boleh diamalkan (boleh memilih).
Ø  Meninggalkan sholat berjama’ah di masjid itu di bolehkan baik pada saat muadzin mengumandangkan Shollu fii Rihaalikum ataupun tidak mengumandangkannya.
Ø  Sahalat di rumah di kala ada alasan yang disyari’atkan itu hukumnya boleh=boleh saja dan bukan wajib. Oleh karena itu Bukhari memberi judul bab dalam shahihnya,  kitab adzan bab 40, bab: dibolehkannya shalat dirumah karena hujan atau sebab yang lainnya.

            Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/157 berkata (mengomentari judul bab shahih Bukhari di atas): “Imam Bukhari menyebutkan (atau sebab yang lainnya) karena ini lebih umum dari pada hanya disebutkan karena hujan saja. (Dibolehkannya) shalat di rumah itu sebabnya lebih umum dari pada hanya karena hujan atau semisalnya. Dan shalat di rumah kadang bisa dengan berjama’ah atau sendirian, meskipun kebanyakan dengan sendirian. (Karena) hukum asal shalat berjama’ah itu dilakukan di Masjid.”
            Dan yang menguatkan akan hal ini semuanya adalah keumuman sabda beliau SAW: “Barang siapa yang mendengar adzan tapi tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur (alasan) syar’i.” (HR. Ibnu majjah).
            Tidak di ragukan lagi bahwa hujan dan yang semisalnya itu merupakan udzur. Wallahu A’lam

[Ahkamusy Syitaa’ Fis Sunnatil Muthahharah hal.41-44]

[Dislain dari majalah Adzakiirah Al-Islamiyyah edisi 13 Th.III Shafar 1426H-April 2005]

Selasa, 22 Oktober 2013

Apakah Ibadah Tidak diterima Apabila di Tubuh Kita ada Tato??


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Yang haram dari tato adalah membuatnya. Sedangkan anggapan bahwa orang yang punya tato tidak akan diterima ibadahnya lantaran tato itu menutupi kulit dari terkena air wudlu, sebenarnya tidak demikian.
            Sebab kalau kita cermati yang terjadi pada tato, tidak ad lapisan yang menhalangi kulit dari terkena basah air. Sebab tinta tato itu bukan merupakan selaput yang menutup kulit, melainkan tinta yang masuk ke dalam bagian dalam kulit. Sehingga tidak terjadi proses pelapisan atau penutupan kulit dari terkena air wudlu. Termasuk juga air untuk mandi janabah.
            Namun yang jadi masalah justru pada pembuatan tato itu. Membuat tato itu adalah perbuatan haram dan dilaknat Rasulullah SAW seperti tersebut dalam  hadisnya: Rasulullah melaknat perempuan yang mentato dan minta ditato, dan yang mengikir gigidan yang minta dikikir giginya. (HR. Thabrani)
            Tato yaitu memberi tanda pada muka dan kedua telapak tangan dengan waarna biru dalam bentuk ukiran. Sebagian orang-orang Arab, khususnya kaum perempuan, mentato sebagian besar badannya. Bahkan sementara pengikut-pengikut agama membuatnya tato dalam bentuk persembahan dan lambang-lambang agama mereka, misalnya orang-orang kristen melukis salib di tangan dan dada mereka.
            Perbuatan-perbuatan yang rusak ini dilakukan dengan menyiksa dan menyakiti badan, yaitu dengaan menusuk-nusukkan jarum pada badan orang yang ditato itu. Semua ini menyebabkan laknat, baik yang terhadap mentato ataupun orang yang minta ditato.
            Jalan terbaik buat orang yang sudah terlanjur ditato adlah bertaubat kepada Allah SWT. Kalau masihmungkin dihilangkan gambar-gambar itu, upayakanlahsebisa mungkin. Tapi kalau mustahil, maka bersabarlah. Semoga Allah SWT menerima permohonan ampun dan taubat Anda. Yang penting hati Anda telah kembali ke jalan Allah.
Dan jangan khawatir shalat Anda tidak diterima hanya lantaran isu bahwa tato menghalangi air wudlu. Insya Allah tato itu tidak menghalangi air wudlu dan bila Anda berwudlu dengan memenuhi syarat dan rukunnya, hukumnya sah dan Anda boleh melakukan shalat dengan wudlu itu.
Wallahu A’lam bish-shawab...
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Edcoustic


     
Muhasabah Cinta

Wahai pemilik nyawaku
Betapa lemah diriku ini
Berat ujian dari-Mu
Ku pasrahkan semua pada-Mu

Tuhan baru ku sadar
Indah nikmat sehat itu
Tak pandai aku bersyukur
Kini ku harapkan cinta-Mu

Reff:
Kata-kata cinta terucap indah
Mengalun berzikir di kidung doaku
Sakit yang ku rasa biar jadi penawar dosaku
Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang Kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah selama ini
Ya Illahi muhasabah cintaku

Tuhan kuatkan aku
Lindungiku dari putus asa
Jika ku harus mati
Pertemukan aku dengan-Mu

Back to Reff:

Kamis, 17 Oktober 2013

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

A. MENELUSURI JEJAK BLBI
Krisis mata uang Bath Thailand yang akhirnya merembet ke Indonesia merupakan salah satu pemicu terjadinya krisis mata uang rupiah pada semester kedua tahun 1997. Krisis tersebut dengan cepat menjalar kebanyak negara lain yang struktur ekonominya lemah. Tercatat, pada saat itu krisis yang berawal dari Thailand merambat ke Malaysia, China, Korea, Singapura, dan lain-lain. Indonesia, tentu saja juga tidak luput dari penjalaran krisis tersebut, bahkan paling parah di antara negara-negara yang disebutkan tadi. Implikasinya muncul berbagai krisis ekonomi di berbagai indonesia,termasuk di dalamnya sektor keuangan. Pada periode tersebut pilar utama penyokong sektor keuangan di indonesia adalah perbankan.
            Faktor yang menyebabkan sektor perbankan mengalami krisis, antara lain :
  1. Setruktur modal korporasi indonesia masih di dominasi oleh kredit perbankan, baik perbankan domestik maupun asing. Pada awalnya, korporasi yang mengalami  tekanan depresiasi rupiah terhadap dollar AS masih terbatas pads korporasi dengan setruktur modal dari perbankan asing.
  2. Terjadi krisis kepercayaan nasabah terhadap perbankan akibat isu keterbatasan likuiditas yang di alami oleh perbankan. Pada masa tersebut, sebagian besar masyarakat indonesia belum memahami dengan baik kondisi perbankan.
            Dengan gabungan kedua fakta diatas, keterbatasan likuiditas yang awalnya hanya terjadi disebagian kecil bank akhirnya merembet pula kesebagian besar bank. Pararel dengan situasi di atas, keterbatasan likuiditas pada sebagian besar bank akhirnya menjalar ke struktur modal perbankan.[1]
Agumentasi di atas muncul karena sekitar empat bulan pasca terjadinya krisis, pemerintah melalui BI telah melakukan restrukturisasi perbankan. Salah satu instrumen dalam restrukturisasi perbankan adalah bantuan likuiditas. Akhirnya negeri ini berhasil mengatasi masalahnya secara bertahap dengan melakukan restrukturisasi perusahaan dan perbankan, serta menggiatkan ekspor. Walhasil, cadangan devisa yang berhasil dikumpulkan mencapai tidak kurang dari 33 Miliar dollar AS. Potensi ini akhirnya dapat meredam krisis nilai tukar akibat permintaan terhadap valuta yang tinggi.[2]
Penyebab Indonesia terbebani utang besar, Sejak tahun 1990-an terjadilah kemajuan yang luar biasa dalam pertumbuhan ekonomi dan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Karena itu, tergiurlah modal-modal besar dari negara-negara terkaya di dunia membanjiri negeri-negeri Asia timur, Asia tenggara, termasuk Indonesia. Berpuluh milliar dollar masuk sebagai kredit yang ditonjolkan dan ditawar-tawarkan kepada pengusaha-pengusaha yang serakah dan berkolusi dengan birokrasi yang sangat korup dibidang keuangan, perbankan, dan instansi pemerintah. Terjadilah pertumbuhan yang sangat pesat dari konglomerat Indonesia.
Ternyata para pengusaha Indonesia mengambil kredit tanpa perhitungan matang, tanpa memperhitungkan untung ruginya, tidak mempunyai niat untuk menyumbangkan bagi peningkatan produktivitas ekonomi Indonesia. Hanya didorong oleh nafsumengejar keuntungan yang luar biasa dalam waktu singkat, pengusaha Indonesia secara membabi buta mengambil kredit-kredit yang di sodorkan dari Luar Negeri. Para konglomeratpun rupa-rupanya tidak peduli akan kemajuan bangsanya sendiri. Mereka semata-mata didorong oleh kehausan akan keuntungan yang luar biasa dalam waktu cepat.[3]

C. BLBI DAN MORAL HAZARD
Bermula sejak era kekuasaan Presiden Soeharto, asal-usul masalah BLBI mencuat ke permukaan sejalan dengan pembentukan BPPN pada 1998. Secara kategoris, BPPN bekerja untuk menyehatkan dunia perbankan, mengembalikan dana negara dan mengelola aset pengusaha yang diambil alih pemerintah. Menurut Dendawijaya, sebelum terbentuknya BPPN, pemerintah sebenarnya sudah lama membenahi perbankan yang sakit. Gubernur Bank Indoneia (waktu itu masih dijabat oleh Sudrajat Djiwandono) mengemukakan bahwa keputusan yang diambl terhadap bank-bank yang sakit bukanlah atas desakan IMF semata, melainkan sudah lama dipersiapkan dan hanya menunggu timing yang cocok. Keputusan yang dimaksud adalah dicabutnya izin usaha 16 bank nasional atau lebih terkenal dengan istilah “likuidasi bank”.[4]
Salah satu kritik atas kebijakan BLBI adalah ketidakmampuan BI dalam mengelola dan mengawasi implementasi penggunaan dana bantuan likuiditas untuk merestrukturisasi perbankan. Akibat dari ketiadaan control yang efektif dalam implementasi kebijakan BLBI, maka kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan curang menjadi lebih besar. Jika ditelisik dari kasus BLBI ini, maka terdapat beberapa motif dari tindakan curang tersebut. Antara lain:
1.      Tindakan curang oleh pihak perbankan (penerima BLBI)
Motif ini dilakukan dengan cara: secara sengaja tidak mengembalikan bantuan likuiditas, menunda pembayaran bantuan likuiditas dengan beberapa alas an misalnya belum adanya kecukupan likuiditas diperbankan, dan menggunakan dana BLBI tersebut untuk keperluan diluar kesepakatan.ketiga motif tersebut semuanya terbukti dilapangan, dimana banyak pihak penerima BLBI yang mangkir melakukan pembayaran, bahkan sebagian kabur keluar negeri.
2.      Perilaku curang yang dilakukan oleh pemberi otoritas (BI)
Dengan ketiadaan kelembagaan yang mumpuni menyebabkan pengawasan bisa lebih longgar. Pada posisi ini, kesempatan untuk melakukan tindakan menyimpang menjadi lebih terbuka. Motif dari tindakan curang ini adalah dengan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan penerima bantuan.lebih lanjut, salah satu ekses dai hal ini adalah munculnya perbedaan jumlah dana yang seharusnya diterima oleh BI dan yang wajib dibayarkan oleh penerima dana. Perbedaan ini, seiring dengan berjalannya waktu, juga berimbas pada perbedaan  perhitungan oleh lembaga pemerintah lainnya.[5]
Terkait masalah yang dipaparkan dalam bukunya Dendawijaya bahwa, dalam perjalanannya  pemerintah kemudian membentuk BPPN akan tetapi dalam perjalanannya BPPN lebih memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik atas bantuan likuiditas yang telah diberikannya.selain itu dalam menjalankan tugas penyehatan perbankan, BPPN kurang optimal menjalankan tuganya.
Kelemahan BPPN tidak hanya berhenti pada saat menilai asset yang dibayarkan oleh penerima bantuan. Kerap kali BPPN dalam menjual asset yang dibayarkan oleh penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas jauh dibawah nilai pasar, dengan kinerja BPPN yang seperti ini, maka asset yang dibayarkan oleh penerima bantuan likuiditas mengalami penurunan berganda setelah berada dibawah BPPN. Singkatnya, BPPN bertindak sebagai makelar ketimbang sebagai wakil dari pemerintah.
Akhirnya terlihat bahwa sebetulnya kebijakan BLBI yang dilansir pemerintah pada saat krisis ekonomi 1997/1999 memiliki banyak cacat baik secara substansial maupun teknis. Perilaku menyimpang itu antara lain dilakukan dengan jalan memanfaatkan dana BLBI bagi kepentingan diluar kesepakatan, mengulur-ulur waktu pembayaran, dan sengaja kabur dari tanggung jawab.



[1] Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm.272-276
[2] Didik J. Rachbini, Ekonomi di Era Transisi Demokrasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hlm.95
[3] Sarbini sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: PT  Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.9
[4] Lima tahun penyehatan perbankan nasional (1998-2003)
[5] Ekonomi politik