Jumat, 15 Mei 2015

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

MENELUSURI JEJAK BLBI
Krisis mata uang Bath Thailand yang akhirnya merembet ke Indonesia merupakan salah satu pemicu terjadinya krisis mata uang rupiah pada semester kedua tahun 1997. Krisis tersebut dengan cepat menjalar kebanyak negara lain yang struktur ekonominya lemah. Tercatat, pada saat itu krisis yang berawal dari Thailand merambat ke Malaysia, China, Korea, Singapura, dan lain-lain. Indonesia, tentu saja juga tidak luput dari penjalaran krisis tersebut, bahkan paling parah di antara negara-negara yang disebutkan tadi. Implikasinya muncul berbagai krisis ekonomi di berbagai indonesia,termasuk di dalamnya sektor keuangan. Pada periode tersebut pilar utama penyokong sektor keuangan di indonesia adalah perbankan.
            Faktor yang menyebabkan sektor perbankan mengalami krisis, antara lain :
  1. Setruktur modal korporasi indonesia masih di dominasi oleh kredit perbankan, baik perbankan domestik maupun asing. Pada awalnya, korporasi yang mengalami  tekanan depresiasi rupiah terhadap dollar AS masih terbatas pads korporasi dengan setruktur modal dari perbankan asing.
  2. Terjadi krisis kepercayaan nasabah terhadap perbankan akibat isu keterbatasan likuiditas yang di alami oleh perbankan. Pada masa tersebut, sebagian besar masyarakat indonesia belum memahami dengan baik kondisi perbankan.
            Dengan gabungan kedua fakta diatas, keterbatasan likuiditas yang awalnya hanya terjadi disebagian kecil bank akhirnya merembet pula kesebagian besar bank. Pararel dengan situasi di atas, keterbatasan likuiditas pada sebagian besar bank akhirnya menjalar ke struktur modal perbankan.[1]
Agumentasi di atas muncul karena sekitar empat bulan pasca terjadinya krisis, pemerintah melalui BI telah melakukan restrukturisasi perbankan. Salah satu instrumen dalam restrukturisasi perbankan adalah bantuan likuiditas. Akhirnya negeri ini berhasil mengatasi masalahnya secara bertahap dengan melakukan restrukturisasi perusahaan dan perbankan, serta menggiatkan ekspor. Walhasil, cadangan devisa yang berhasil dikumpulkan mencapai tidak kurang dari 33 Miliar dollar AS. Potensi ini akhirnya dapat meredam krisis nilai tukar akibat permintaan terhadap valuta yang tinggi.[2]
Penyebab Indonesia terbebani utang besar, Sejak tahun 1990-an terjadilah kemajuan yang luar biasa dalam pertumbuhan ekonomi dan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Karena itu, tergiurlah modal-modal besar dari negara-negara terkaya di dunia membanjiri negeri-negeri Asia timur, Asia tenggara, termasuk Indonesia. Berpuluh milliar dollar masuk sebagai kredit yang ditonjolkan dan ditawar-tawarkan kepada pengusaha-pengusaha yang serakah dan berkolusi dengan birokrasi yang sangat korup dibidang keuangan, perbankan, dan instansi pemerintah. Terjadilah pertumbuhan yang sangat pesat dari konglomerat Indonesia.
Ternyata para pengusaha Indonesia mengambil kredit tanpa perhitungan matang, tanpa memperhitungkan untung ruginya, tidak mempunyai niat untuk menyumbangkan bagi peningkatan produktivitas ekonomi Indonesia. Hanya didorong oleh nafsumengejar keuntungan yang luar biasa dalam waktu singkat, pengusaha Indonesia secara membabi buta mengambil kredit-kredit yang di sodorkan dari Luar Negeri. Para konglomeratpun rupa-rupanya tidak peduli akan kemajuan bangsanya sendiri. Mereka semata-mata didorong oleh kehausan akan keuntungan yang luar biasa dalam waktu cepat.[3]

BLBI DAN MORAL HAZARD
Bermula sejak era kekuasaan Presiden Soeharto, asal-usul masalah BLBI mencuat ke permukaan sejalan dengan pembentukan BPPN pada 1998. Secara kategoris, BPPN bekerja untuk menyehatkan dunia perbankan, mengembalikan dana negara dan mengelola aset pengusaha yang diambil alih pemerintah. Menurut Dendawijaya, sebelum terbentuknya BPPN, pemerintah sebenarnya sudah lama membenahi perbankan yang sakit. Gubernur Bank Indoneia (waktu itu masih dijabat oleh Sudrajat Djiwandono) mengemukakan bahwa keputusan yang diambl terhadap bank-bank yang sakit bukanlah atas desakan IMF semata, melainkan sudah lama dipersiapkan dan hanya menunggu timing yang cocok. Keputusan yang dimaksud adalah dicabutnya izin usaha 16 bank nasional atau lebih terkenal dengan istilah “likuidasi bank”.[4]
Salah satu kritik atas kebijakan BLBI adalah ketidakmampuan BI dalam mengelola dan mengawasi implementasi penggunaan dana bantuan likuiditas untuk merestrukturisasi perbankan. Akibat dari ketiadaan control yang efektif dalam implementasi kebijakan BLBI, maka kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan curang menjadi lebih besar. Jika ditelisik dari kasus BLBI ini, maka terdapat beberapa motif dari tindakan curang tersebut. Antara lain:
1.      Tindakan curang oleh pihak perbankan (penerima BLBI)
Motif ini dilakukan dengan cara: secara sengaja tidak mengembalikan bantuan likuiditas, menunda pembayaran bantuan likuiditas dengan beberapa alas an misalnya belum adanya kecukupan likuiditas diperbankan, dan menggunakan dana BLBI tersebut untuk keperluan diluar kesepakatan.ketiga motif tersebut semuanya terbukti dilapangan, dimana banyak pihak penerima BLBI yang mangkir melakukan pembayaran, bahkan sebagian kabur keluar negeri.
2.      Perilaku curang yang dilakukan oleh pemberi otoritas (BI)
Dengan ketiadaan kelembagaan yang mumpuni menyebabkan pengawasan bisa lebih longgar. Pada posisi ini, kesempatan untuk melakukan tindakan menyimpang menjadi lebih terbuka. Motif dari tindakan curang ini adalah dengan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan penerima bantuan.lebih lanjut, salah satu ekses dai hal ini adalah munculnya perbedaan jumlah dana yang seharusnya diterima oleh BI dan yang wajib dibayarkan oleh penerima dana. Perbedaan ini, seiring dengan berjalannya waktu, juga berimbas pada perbedaan  perhitungan oleh lembaga pemerintah lainnya.[5]
Terkait masalah yang dipaparkan dalam bukunya Dendawijaya bahwa, dalam perjalanannya  pemerintah kemudian membentuk BPPN akan tetapi dalam perjalanannya BPPN lebih memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik atas bantuan likuiditas yang telah diberikannya.selain itu dalam menjalankan tugas penyehatan perbankan, BPPN kurang optimal menjalankan tuganya.
Kelemahan BPPN tidak hanya berhenti pada saat menilai asset yang dibayarkan oleh penerima bantuan. Kerap kali BPPN dalam menjual asset yang dibayarkan oleh penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas jauh dibawah nilai pasar, dengan kinerja BPPN yang seperti ini, maka asset yang dibayarkan oleh penerima bantuan likuiditas mengalami penurunan berganda setelah berada dibawah BPPN. Singkatnya, BPPN bertindak sebagai makelar ketimbang sebagai wakil dari pemerintah.
Akhirnya terlihat bahwa sebetulnya kebijakan BLBI yang dilansir pemerintah pada saat krisis ekonomi 1997/1999 memiliki banyak cacat baik secara substansial maupun teknis. Perilaku menyimpang itu antara lain dilakukan dengan jalan memanfaatkan dana BLBI bagi kepentingan diluar kesepakatan, mengulur-ulur waktu pembayaran, dan sengaja kabur dari tanggung jawab.




[1] Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm.272-276
[2] Didik J. Rachbini, Ekonomi di Era Transisi Demokrasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hlm.95
[3] Sarbini sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: PT  Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.9
[4] Lima tahun penyehatan perbankan nasional (1998-2003)
[5] Ekonomi politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar