MENELUSURI
JEJAK BLBI
Krisis mata uang Bath Thailand yang akhirnya
merembet ke Indonesia merupakan salah satu pemicu terjadinya krisis mata uang
rupiah pada semester kedua tahun 1997. Krisis tersebut dengan cepat menjalar
kebanyak negara lain yang struktur ekonominya lemah. Tercatat, pada saat itu
krisis yang berawal dari Thailand merambat ke Malaysia, China, Korea,
Singapura, dan lain-lain. Indonesia, tentu saja juga tidak luput dari
penjalaran krisis tersebut, bahkan paling parah di antara negara-negara yang
disebutkan tadi. Implikasinya muncul berbagai krisis ekonomi di berbagai
indonesia,termasuk di dalamnya sektor keuangan. Pada periode tersebut pilar
utama penyokong sektor keuangan di indonesia adalah perbankan.
Faktor
yang menyebabkan sektor perbankan mengalami krisis, antara lain :
- Setruktur modal korporasi indonesia masih
di dominasi oleh kredit perbankan, baik perbankan domestik maupun asing.
Pada awalnya, korporasi yang mengalami
tekanan depresiasi rupiah terhadap dollar AS masih terbatas pads
korporasi dengan setruktur modal dari perbankan asing.
- Terjadi krisis kepercayaan nasabah
terhadap perbankan akibat isu keterbatasan likuiditas yang di alami oleh
perbankan. Pada masa tersebut, sebagian besar masyarakat indonesia belum
memahami dengan baik kondisi perbankan.
Dengan
gabungan kedua fakta diatas, keterbatasan likuiditas yang awalnya hanya terjadi
disebagian kecil bank akhirnya merembet pula kesebagian besar bank. Pararel
dengan situasi di atas, keterbatasan likuiditas pada sebagian besar bank
akhirnya menjalar ke struktur modal perbankan.[1]
Agumentasi di atas muncul karena sekitar empat
bulan pasca terjadinya krisis, pemerintah melalui BI telah melakukan restrukturisasi
perbankan. Salah satu instrumen dalam restrukturisasi perbankan adalah bantuan
likuiditas. Akhirnya negeri ini berhasil mengatasi masalahnya secara bertahap
dengan melakukan restrukturisasi perusahaan dan perbankan, serta menggiatkan
ekspor. Walhasil, cadangan devisa yang berhasil dikumpulkan mencapai tidak
kurang dari 33 Miliar dollar AS. Potensi ini akhirnya dapat meredam krisis
nilai tukar akibat permintaan terhadap valuta yang tinggi.[2]
Penyebab Indonesia terbebani utang besar, Sejak
tahun 1990-an terjadilah kemajuan yang luar biasa dalam pertumbuhan ekonomi dan
perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Karena itu, tergiurlah modal-modal
besar dari negara-negara terkaya di dunia membanjiri negeri-negeri Asia timur,
Asia tenggara, termasuk Indonesia. Berpuluh milliar dollar masuk sebagai kredit
yang ditonjolkan dan ditawar-tawarkan kepada pengusaha-pengusaha yang serakah
dan berkolusi dengan birokrasi yang sangat korup dibidang keuangan, perbankan,
dan instansi pemerintah. Terjadilah pertumbuhan yang sangat pesat dari
konglomerat Indonesia.
Ternyata para pengusaha Indonesia mengambil
kredit tanpa perhitungan matang, tanpa memperhitungkan untung ruginya, tidak
mempunyai niat untuk menyumbangkan bagi peningkatan produktivitas ekonomi
Indonesia. Hanya didorong oleh nafsumengejar keuntungan yang luar biasa dalam
waktu singkat, pengusaha Indonesia secara membabi buta mengambil kredit-kredit
yang di sodorkan dari Luar Negeri. Para konglomeratpun rupa-rupanya tidak
peduli akan kemajuan bangsanya sendiri. Mereka semata-mata didorong oleh
kehausan akan keuntungan yang luar biasa dalam waktu cepat.[3]
BLBI DAN MORAL HAZARD
Bermula
sejak era kekuasaan Presiden Soeharto, asal-usul masalah BLBI mencuat ke
permukaan sejalan dengan pembentukan BPPN pada 1998. Secara kategoris, BPPN
bekerja untuk menyehatkan dunia perbankan, mengembalikan dana negara dan
mengelola aset pengusaha yang diambil alih pemerintah. Menurut Dendawijaya,
sebelum terbentuknya BPPN, pemerintah sebenarnya sudah lama membenahi perbankan
yang sakit. Gubernur Bank Indoneia (waktu itu masih dijabat oleh Sudrajat
Djiwandono) mengemukakan bahwa keputusan yang diambl terhadap bank-bank yang
sakit bukanlah atas desakan IMF semata, melainkan sudah lama dipersiapkan dan
hanya menunggu timing yang cocok. Keputusan yang dimaksud adalah dicabutnya
izin usaha 16 bank nasional atau lebih terkenal dengan istilah “likuidasi
bank”.[4]
Salah satu kritik atas kebijakan BLBI adalah
ketidakmampuan BI dalam mengelola dan mengawasi implementasi penggunaan dana bantuan
likuiditas untuk merestrukturisasi perbankan. Akibat dari ketiadaan control
yang efektif dalam implementasi kebijakan BLBI, maka kesempatan untuk melakukan
tindakan-tindakan curang menjadi lebih besar. Jika ditelisik dari kasus BLBI
ini, maka terdapat beberapa motif dari tindakan curang tersebut. Antara lain:
1. Tindakan
curang oleh pihak perbankan (penerima BLBI)
Motif ini dilakukan dengan cara:
secara sengaja tidak mengembalikan bantuan likuiditas, menunda pembayaran
bantuan likuiditas dengan beberapa alas an misalnya belum adanya kecukupan
likuiditas diperbankan, dan menggunakan dana BLBI tersebut untuk keperluan
diluar kesepakatan.ketiga motif tersebut semuanya terbukti dilapangan, dimana
banyak pihak penerima BLBI yang mangkir melakukan pembayaran, bahkan sebagian
kabur keluar negeri.
2. Perilaku
curang yang dilakukan oleh pemberi otoritas (BI)
Dengan ketiadaan kelembagaan yang
mumpuni menyebabkan pengawasan bisa lebih longgar. Pada posisi ini, kesempatan
untuk melakukan tindakan menyimpang menjadi lebih terbuka. Motif dari tindakan
curang ini adalah dengan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan
penerima bantuan.lebih lanjut, salah satu ekses dai hal ini adalah munculnya
perbedaan jumlah dana yang seharusnya diterima oleh BI dan yang wajib
dibayarkan oleh penerima dana. Perbedaan ini, seiring dengan berjalannya waktu,
juga berimbas pada perbedaan perhitungan
oleh lembaga pemerintah lainnya.[5]
Terkait masalah
yang dipaparkan dalam bukunya Dendawijaya bahwa, dalam perjalanannya pemerintah kemudian membentuk BPPN akan
tetapi dalam perjalanannya BPPN lebih memerankan diri sebagai agen dari pihak
penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik atas
bantuan likuiditas yang telah diberikannya.selain itu dalam menjalankan tugas
penyehatan perbankan, BPPN kurang optimal menjalankan tuganya.
Kelemahan BPPN
tidak hanya berhenti pada saat menilai asset yang dibayarkan oleh penerima
bantuan. Kerap kali BPPN dalam menjual asset yang dibayarkan oleh penerima
bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas jauh dibawah
nilai pasar, dengan kinerja BPPN yang seperti ini, maka asset yang dibayarkan
oleh penerima bantuan likuiditas mengalami penurunan berganda setelah berada
dibawah BPPN. Singkatnya, BPPN bertindak sebagai makelar ketimbang sebagai
wakil dari pemerintah.
Akhirnya terlihat bahwa
sebetulnya kebijakan BLBI yang dilansir pemerintah pada saat krisis ekonomi
1997/1999 memiliki banyak cacat baik secara substansial maupun teknis. Perilaku
menyimpang itu antara lain dilakukan dengan jalan memanfaatkan dana BLBI bagi
kepentingan diluar kesepakatan, mengulur-ulur waktu pembayaran, dan sengaja
kabur dari tanggung jawab.
[1] Ahmad Erani Yustika, Ekonomi
Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm.272-276
[2] Didik J. Rachbini, Ekonomi di Era Transisi Demokrasi, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2001), hlm.95
[3] Sarbini sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.9
[4] Lima tahun penyehatan perbankan nasional (1998-2003)
[5] Ekonomi politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar